Rabu, 12 Desember 2012

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351-358.2 Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya da-pat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum sangat diperlukan, khusus-nya tentang perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
a.    UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya.
b.    UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
c.    UU 1/1974 tentang Perkawinan.
d.   UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
e.    UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saat-nya dibentuk Undang-Undang tentang Peng-hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidi-kan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

B.       RUMUSAN MASALAH
Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini yaitu :
1.    Apa pengertian KDRT ?
2.    Apa saja gejala KDRT ?
3.    Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga ?
4.    Faktor apa yang menyebabkan seorang suami tega melekukan tindak kekerasan dalam rumah tangga  ?
5.    Apa saja dampak bila melakukan kekerasan dalam rumah tangga ?
6.    Apakah Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam rumah tangga ?
7.    Apakah Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di pengadilan dalam tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351-358 ?
8.    Solusi apa saja untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga ?
C.       TUJUAN
1.    Untuk mengetahui pengertian kekerasan dalam rumah tangga ?
2.    Untuk mengetahui gejala-gejalan kekerasan dalam rumah tangga ?
3.    Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga ?
4.    Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan seorang suami tega melekukan tindak kekerasan dalam rumah tangga  ?
5.    Untuk mengetahui dampak bila melakukan kekerasan dalam rumah tangga?
6.    Untuk mengetahui apakah Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam rumah tangga ?
7.    Untuk mengetahui apakah Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di pengadilan dalam tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351-358 ?
8.    Untuk mengetahui solusi apa saja untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga ?






BABII
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN
Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga
Secara ringkas, adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan. Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).
Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.
Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
             1.     Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
             2.     Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
             3.     Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
             4.     Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
             5.     Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.
Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.
Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu: “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
B.       GEJALA-GEJALA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejalagejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.

C.       BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:
1.    Kekerasan fisik, langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.
2.    Kekerasan psikologis, Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3.    Kekerasan Seksual, Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
4.    Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.
5.      Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut
Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis. Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.

D.      FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:
1.    Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
2.    Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
3.    Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
4.    Persaingan.
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5.    Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang :
a.         Belum siap kawin.
b.         Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang
     mencukupi kebutuhan rumah tangga.
c.         Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

E.       DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
1.    Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2.    Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
3.    Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4.    Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya. Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
1.    Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan.
2.    Tidak perlu menghormati perempuan.
3.    Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar.
4.    Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:
1.    Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan.
2.    Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil.
3.    Merasa disia-siakan oleh orang tua.
Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.

F.      PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEKERASAN (FISIK)  TERHADAP ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
1.    Menurut Hukum Pidana
Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.
Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu "tiada pidana tanpa kesalahan" atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.
Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa).
Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: "Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun". Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: "Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.16
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.
Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin.
2.    Menurut UU No. 23 Tahun 2004
UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal. Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut:
a)         Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
b)        Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:
1)        Penghormatan hak asasi manusia
2)        Keadilan dan kesetaraan jender
3)        Anti diskriminasi, dan
4)        Perlindungan korban
Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
1)        Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2)        Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3)        Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4)        Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
c)         Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.
d)        Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
1)        Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
2)        Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
3)        Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
4)        Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan.
5)        Pelayanan bimbingan rohani.
e)         Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:
1)        Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
2)        Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
3)        Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
4)        Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
-            Mencegah berlangsungnya tindak pidana
-            Memberikan perlindungan kepada korban
-            Memberikan pertolongan darurat, dan
-            Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait
f)         Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
g)        Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
1)        Tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)
2)        Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)
h)        Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
1)      Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
2)      Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-
3)      Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
4)      Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-
i)          Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).

G.      SOLUSI UNTUK MENGATASI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.
Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi.
Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan ada beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
1.         Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2.         Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan.
3.         Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
4.         Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
5.         Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
6.         Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentangt KDRT sudah bisa melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 bab II, juga terdapat dalam bab IV pasal 10 yaitu: Cara melindungi korban dapat dilakukan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, advokad, lembaga sosial atau pihak lainnya.apabila dalam hal ini ada warga yang mendengar, melihat atau mengetahui telah terjadinya kekerasan terhadap rumah tangga di dalam lingkungannya maka wajib melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana, memberikan perlindungan terhadap korban, memberikan pertolongan darurat, membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan acuan dalam merumuskan perkara dalam tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena undang-undang ini sudah disahkan, tetapi masih ada yang menggunakan KUHP Bab XX tentang penganiayaan dalam memutuskan perkara ini sesuai dengan kekerasan yang dilakukan si pelaku. KUHP pada dasarnya tidak mengenal kekerasan yang berbasis jender, itulah sebabnya dikeluarkan UU No.23 tahun 2004 yang mengatur secara khusus tentang kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga.
Banyak sekali faktor yang menyebabkan seorang suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, seorang suami dapat melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri jadi suami disini merasa dirinya yang berkuasa dan bebas melakukan apapun terhadap istrinya, ketergantungan ekonomi juga menyebabkan faktor kekerasan dalam rumah tangga karena disini hanya seorang suami yang mencari nafka sedangkan istri hanya bergantung pada suami maka hanya suami yang merasa berhak mengendalikan semuanya, menurut para suami dengan melakukan tindak kekerasan maka istrinya bisa menuruti semua kehendak dari suami maka kekerasan dijadikan alat untuk menyelesaikan konflik, frustasi seorang suami karena beberapa faktor seperti belum siap kawin, belum kerja menyebakan suami menjadi stes dan bisa melakukan kekerasan terhadap istri, persaingan antara suami dan istri dalam hal pendidikan, jabatan, pergaulan dapat menjadi faktor kerasan dalam rumah tangga.

B.     SARAN





















DAFTAR PUSTAKA

Sakidjo, Aruan, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan
Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca
Usaha, 2004.

Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence
Againts Women, Washington DC.: World Bank Discussion Paper,
1994.

M.Rasyid Ariman,SH.,MH, Fahmi Raghib,SH.,MH, dan Syarifuddin
Petanasse,SH.,MH.Hukum Pidana Dalam Kodifikasi.2007.

Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada
Perempuan, Whasington DC., 2000.

Maggi Humm, The Dictionary Of Feminist Theory, London: Harvester
Wheatsheaf, 1989.

Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan UU No. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Dep.
Agama, Dirjen Binbaga DEPAG., 1995/1996.

Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara,
1994.